
Yuki Kato. Di usianya yang menginjak 30 tahun, Yuki mengaku sering mendapat pertanyaan tentang pernikahan, terutama karena banyak teman sebayanya sudah menikah atau bahkan memiliki anak.
Fenomena ini bukan hal baru—dan tak hanya menimpa selebritas. Banyak orang, khususnya perempuan, merasa dihantui ekspektasi keluarga dan lingkungan untuk segera menikah seolah itu satu-satunya ukuran keberhasilan hidup. Padahal, setiap orang punya ritme, pilihan, dan prioritasnya masing-masing.
Menurut para psikolog, tekanan semacam ini bisa diatasi dengan mengubah cara berpikir (mindset), bukan dengan terburu-buru mengikuti harapan orang lain. Berikut beberapa perspektif yang bisa membantu membebaskan diri dari tekanan sosial soal pernikahan:
4 Mindset agar tidak merasa tertinggal dengan orang lain
1. Pahami bahwa setiap orang punya waktu sendiri
Psikolog klinis Adelia Octavia Siswoyo, M.Psi., menegaskan bahwa kita perlu menyadari jika perjalanan hidup setiap orang tidak bisa disamakan satu sama lain.
Baik soal pendidikan, karier, maupun pernikahan, semua orang memiliki garis start dan tujuan yang berbeda.
“Setiap orang pasti punya jalan yang berbeda, dan juga hasil yang berbeda,” ujar Adelia kepada Kompas.com, Jumat (28/6/2025).

2. Jangan jadikan hidup orang lain sebagai patokan
Terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain hanya akan menciptakan tekanan batin.
Adelia menyarankan agar setiap orang mulai memusatkan energi pada apa yang ingin dicapai, bukan pada ekspektasi sosial.
“Fokus dengan apa yang kita punya dan kita ingin capai, dan pelan-pelan berhenti menjadikan orang lain sebagai standar keberhasilan,” katanya.
3. Evaluasi ulang persepsi tentang ‘tertinggal’
Melihat teman seangkatan menikah lebih dulu bisa memicu rasa cemas, tapi penting untuk diingat bahwa hidup bukan perlombaan.
Psikolog klinis Melisa, M.Psi., mengatakan, banyak orang merasa tertinggal bukan karena mengikuti ekspektasi dan pola pikir orang lain.
“Pemahaman bahwa diri ini tertinggal adalah peran persepsi diri sendiri,” ujarnya.
Melisa menyarankan untuk merefleksikan kembali konsep mengenai tertinggal bagi diri sendiri. Jika tujuan utama hidup kamu bukan menikah, maka melihat orang lain menikah lebih dulu bukan jadi acuan untuk merasa tertinggal.
4. Hidup yang tak selalu tentang menikah
Melisa menegaskan, kebahagiaan hidup tidak bisa didefinisikan hanya dari status menikah atau tidak. Ada banyak aspek yang membentuk makna hidup seseorang, seperti kualitas hubungan, pengembangan diri, dan rasa puas terhadap hidup.
Membangun karier, menjaga kesehatan mental, menjalin relasi sehat, dan menjadi pribadi yang utuh juga merupakan bentuk pencapaian yang sah dan membanggakan.
“Mengingat hidup ini kan bukan hanya tentang menikah atau tidak ya? Ada banyak tujuan yang bisa dicapai” katanya.